Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI LHOKSUKON
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2023/PN Lsk Abdul Samad Bin Sarong Kepolisian Resor Aceh Utara Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 13 Jun. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2023/PN Lsk
Tanggal Surat Selasa, 13 Jun. 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Abdul Samad Bin Sarong
Termohon
NoNama
1Kepolisian Resor Aceh Utara
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA

  1. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
  2. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”, secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
  3. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon Tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
  4. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Terlapor sebagai saksi (calon Tersangka) sebelum ditetapkan Tersangka. Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali oleh Termohon, yakni melalui Surat Undangan Untuk Klarifikasi Nomor : B/01/I/RS.1.9/2023/Res.Lkh tertanggal 10 Januari 2023 (terlmpir),  dan kemudian panggilan untuk pemeriksaan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Surat Panggilan Nomor : S.Pgl/09/V/2023/Reskrim tertanggal 18 Mei 2023 (terlampir) tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon Tersangka (sebagai saksi), akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon untuk mengetahui apa yang dituduhkan/dugaan tindak pidana kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali untuk klarifikasi oleh Termohon dan kemudian pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka yakni pada hari Senin tanggal 22 Mei 2023 dilakukan pemeriksaan (BAP) terhadap diri Pemohon dengan status Tersangka.
  5. Bahwa untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon Tersangkanya tidak pernah dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Polisi Republik Indonesia (Polri) cq Polisi Republik Indonesia Daerah (Polda) Aceh cq Polisi Republik Indonesia Resort Aceh Utara (Polres Aceh Utara) cq Reserse Kriminal cq Pidana Umum cq Tim Penyidik atas Laporan Polisi Nomor LP.B/169/XII/2022/SPKT/POLRES ACEH UTARA/POLDA ACEH, Tertanggal 26 Desember 2022.
  6. Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon Tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

2. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

  1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
  2. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon Tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik (tidak profesional penyidik dalam melakukan penyidikan  terhadap Laporan Polisi yang diadukan oleh pihak pelapor, penyidik melakukan pemeriksaan saksi yang tidak mengetahui dan tidak ada hubungan secara hukum dengan Laporan Polisi, serta tidak dilakukan pemeriksaan saksi yang ada berhubungan dengan Laporan Polisi pada tahap lidik atau tahap sidik) terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu, dalam tindakan sewenang-wenang oleh penyidik dapat digolongkan sebagaimana dalam Pasal 5 huruf c Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang isinya yaitu :

Pasal 5 yaitu : Dumas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat disampaikan terkait dengan :

  1. Pelayanan Polri;
  2. Penyimpangan perilaku Pegawai Negeri pada Polri;
  3.  
  1. Penyalahgunaan wewenang.

3. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

  1. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.
  2. Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memuat rumusan pasal-pasal yang tidak jelas dan multitafsir yang mengakibatkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Rumusan demikian berpeluang memberikan makna yang keliru yang dilakukan oleh Termohon dalam melakukan pemeriksaan Pemohon.
  3. Bahwa Termohon menetapkan sebagai Tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP yang menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran tidak jelas parameternya.

 

  1. Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan :

“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau kesalahannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”

  1. Frasa ‘bukti permulaan’ dan ‘bukti permulaan yang cukup’ pada kedua kaidah Pasal KUHAP tersebut tidak jelas parameternya dan dapat menjadikan kesewenang-wenangan petugas penyidik. “Petugas penyidik sendiri yang menentukan sendiri apa yang dimaksud bukti permulaan dan bukti permulaan yang cukup. Maka terjadi proses penyidikan tanpa prosedur pendukung menurut due process of law,” katanya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (25/8).
  2. Bahwa kewenangan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP pada dasarnya adalah sebagai instrumen untuk mengontrol tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum (penyidik) terhadap upaya paksa yang dimungkinkan dalam KUHAP. Karena tidak semua upaya paksa dalam KUHAP dapat dikontrol oleh instrumen praperadilan, sehingga hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam due process of law. Karena pihak Termohon melanjutkan kasus ini sampai ke tahap sidik dengan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, sebab permasalahan ini pihak Polsek Langkahan Kabupaten Aceh Utara pernah mengeluarkan SP3 Nomor : B/172/XII/RES.1.14/2022/Reskrim, tertanggal 17 desember 2022 (terlampir). Sehingga pihak Termohon sudah melakukan penetapan pemohon sebagai Tersangka merupakan tindakan kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan asas kepastian hukum.
  3. Bahwa konsep praperadilan itu pada hakikatnya adalah proses melindungi Hak Asasi Manusia berkenaan dengan penggunaan upaya paksa yang dilakukan oleh penegak hukum (penyidik). Melalui praperadilan, akan dinilai kesesuaian proses penggunaan upaya paksa dengan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. Haruslah diakui bahwa KUHAP saat ini lebih cenderung pada crime control model yang lebih mengutamakan kuantitas dalam beracara sehingga mengabaikan hak-hak Tersangka sebagaimana yang dijaminkan dalam deklarasi universal Hak Asasi Manusia setiap warga negara.

3. PEMERIKSAAN PEMOHON OLEH TERMOHON BERTOLAK BELAKANG DENGAN LAPORAN POLISI NOMOR : LP.B/169/XII/2022/SPKT/POLRES ACEH UTARA/POLDA ACEH, Tertanggal 26 Desember 2022

  1. Bahwa Polisi Republik Indonesia (Polri) cq Polisi Republik Indonesia Daerah (Polda) Aceh cq Polisi Republik Indonesia Resort Aceh Utara (Polres Aceh Utara) cq Reserse Kriminal cq Pidana Umum cq Tim Penyidik atas Laporan Polisi Nomor LP.B/169/XII/2022/SPKT/POLRES ACEH UTARA/POLDA ACEH, Tertanggal 26 Desember 2022 (Termohon) bertolak belakang dengan tuduhan/dugaan tindak pidana kepada Pemohon pada saat dilakukan pemeriksaan sebagai Tersangka pada tanggal 22 Mei 2023 tentang memalsukan dan/atau memparaf tanda tangan sdr Nurdin Bin Alamsyah sebagai saksi ketiga dalam surat keterangan jual beli (bahwa mengenai memalsukan dan/atau memparaf tanda tangan sdr Nurdin Bin Alamsyah sebagai saksi ketiga dalam surat keterangan jual beli tersebut benar memang Pemohon yang tanda tangan dan/atau memparaf, tapi bagi sdr Nurdin Bin Alamsyah tidak ada masalah dan tidak dipermasalahkan, sedangkan Termohon lebih mengembangkan mengenai tanda tangan dan/atau memparaf tersebut yang dicari-cari untuk disalahkan/harus terbukti tuduhan tindak pidana terhadap Pemohon oleh Pelapor dan Termohon), sedangkan Laporan Polisi Nomor LP.B/169/XII/2022/SPKT/POLRES ACEH UTARA/POLDA ACEH, Tertanggal 26 Desember 2022 bahwa Termohon mengarahkan dan mengembangkan pemeriksaan tentang penjualan tanah kebun milik Pelapor oleh Pemohon dan pemalsuan tanda tangan Pelapor dan para saksi oleh Pemohon.
  2. Bahwa tuduhan Pelapor yang akan dibuktikan oleh Termohon terhadap Pemohon dengan dugaan telah dilakukan tindak pidana pemalsuan surat/dokumen, tapi dalam penetapan sebagai Tersangka oleh Termohon tidak ada minimal dua orang saksi yang melihat, menyaksikan dan mengetahui bahwa Pemohon yang menjual tanah kebun dan memalsukan tanda tangan Pelapor sebagaimana dalam Laporan Polisi Nomor LP.B/169/XII/2022/SPKT/POLRES ACEH UTARA/POLDA ACEH, Tertanggal 26 Desember 2022.

 

  1. Dengan demikian jelas penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, batal demi hukum, dan harus dibatalkan, karena secara yuridis harus dinyatakan cacat, sebab Termohon tidak ada dasar penetapan Tersangka dengan minimal dua alat bukti dan minimal dua orang saksi yang melihat ddan menyaksikan bahwa Pemohon yang menjual tanah kebun dan memalsukan tanda tangan Pelapor oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

4. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

  1. Bahwa Termohon dalam menetapkan Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Pemalsuan Surat/Dokumen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polisi Republik Indonesia (Polri) cq Polisi Republik Indonesia Daerah (Polda) Aceh cq Polisi Republik Indonesia Resort Aceh Utara (Polres Aceh Utara) cq Reserse Kriminal cq Pidana Umum cq Tim Penyidik atas Laporan Polisi Nomor LP.B/169/XII/2022/SPKT/POLRES ACEH UTARA/POLDA ACEH, Tertanggal 26 Desember 2022 kepada Pemohon hanya berdasar pada hasil Leb dan 1 (satu) orang yang sekarang sudah jadi isteri Pelapor.
  2. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan Pasal 184 KUHAP.
  3. Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Pemalsuan Surat/Dokumen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polisi Republik Indonesia (Polri) cq Polisi Republik Indonesia Daerah (Polda) Aceh cq Polisi Republik Indonesia Resort Aceh Utara (Polres Aceh Utara) cq Reserse Kriminal cq Pidana Umum cq Tim Penyidik atas Laporan Polisi Nomor LP.B/169/XII/2022/SPKT/POLRES ACEH UTARA/POLDA ACEH, Tertanggal 26 Desember 2022 kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, Termohon selalu mendasarkan dan mngembangkan pemeriksaan pada tanda tangan dan/atau memparaf tanda tangan Nurdin Bin Alamsyah yang telah diakui oleh Pemohon bahwa Pemohon yang tanda tangan dan/atau memparaf tanda tangan Nurdin Bin Alamsyah, karena permintaan dan/atau bujuk rayu dan/atau paksaan oleh Pelapor dalam Laporan Polisi Nomor LP.B/169/XII/2022/SPKT/POLRES ACEH UTARA/POLDA ACEH, Tertanggal 26 Desember 2022.
  4. Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) orang saksi yang melihat dan menyaksikan terjadi tindak pidana pemalsuan surat/dokumen dan 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

 Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 III. PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

  1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan/menetapkan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Polisi Republik Indonesia (Polri) cq Polisi Republik Indonesia Daerah (Polda) Aceh cq Polisi Republik Indonesia Resort Aceh Utara (Polres Aceh Utara) cq Reserse Kriminal cq Pidana Umum cq Tim Penyidik atas Laporan Polisi Nomor LP.B/169/XII/2022/SPKT/POLRES ACEH UTARA/POLDA ACEH, Tertanggal 26 Desember 2022 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan/menetapkan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
  4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
  5. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Pemohon sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Lhoksukon, 08 Juni 2023

Hormat kami,

Advokat / Penasehat Hukum Tersangka

Antoni Zulkarnaini, SH

Pihak Dipublikasikan Ya