Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI LHOKSUKON
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2023/PN Lsk Syarifuddin Bin M. Basyah KEPALA KEPOLISIAN SEKTOR BAKTIYA Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 25 Jan. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2023/PN Lsk
Tanggal Surat Senin, 23 Jan. 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Syarifuddin Bin M. Basyah
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN SEKTOR BAKTIYA
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
  1. ALASAN PERMOHONAN PRA-PERADILAN
  1. UPAYA KRIMINALISASI
  1. Bahwa apa yang dialami oleh Pemohon yang dituduh melakukan percobaan pembunuahn dan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 Jo 53 Subs Pasal 351 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan upaya kriminalisasi yang melibatkan Pemohon, Wakapolsek Baktiya dan Oknum Polisi lain yang tersebut dalam Surat Perintah Penangkapan oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SP.Kap/02/1/2023/Reskrim tertanggal 22 Januari 2023 yang ditandangani Pemohon.
  2. Bahwa Mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam sebuah jumpa pers bisa dipakai acuan. Menurut dia, sebuah kasus dapat dikatakan sebagai kriminalisasi jika ada perbuatan yang bukan termasuk tindak pidana, kemudian dikriminalkan. Penjelasan tersebut memberi kesimpulan penting. Yakni, kriminalisasi adalah sebuah pemaksaan terhadap status hukum seseorang.
  3. Bahwa Kriminalisasi justru merupakan tindakan kriminal yang mencederai kebenaran dan perjuangan penegakan hukum karena dilakukan untuk memidanakan seseorang yang tidak melanggar pidana.
  4. Bahwa upaya kriminalisasi itu dialkukan untuk menutup kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Pemohon, Wakapolsek dan beberapa oknum Polisi bahkan pembenaran untuk melakukan, Penembakan dan Penganiayaan terhadap Pemohon dan jelas perbuatan tersbeut bertentangn dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, melanggar hukum dan mencoreng citra kepolisian.
  5. Bahwa dengan demikian sudah seharusnya dan beralasan hukum Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon dan memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  6. TERHADAP PENANGKAPAN ATAU PENAHANAN
  7. Tidak Pernah Ada Penyelidikan Atas Diri Pemohon
  1. Bahwa sesuai dengan fakta-fakta hukum yang dijabarkan secara rinci dalam poin I pada halaman, jelas bahwa Pemohon tidak pernah dipanggil dan atau diundang secara patut dan sesuai dengan Kitab Hukum Acara Pidana serta ketentuan perundang-undangan yang lain.
  2. Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penangkapan oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SP.Kap/02/1/2023/Reskrim tertanggal 22 Januari 2023 bahkan dasar penangkapan hanya pada laporan polisi nomor: LP.B/01/1/2023/POLSEK BAKTIYA/POLRES ACEH UTARA/POLDA ACEH, Tanggal 17 Januari 2023 ditandangani Pemohon.
  3. Bahwa apabila mengacu kepada surat Perintah Penangkapan oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SP.Kap/02/1/2023/Reskrim tertanggal 22 Januari 2023 bahkan dasar penangkapan hanya pada laporan polisi nomor: LP.B/01/1/2023/POLSEK BAKTIYA/POLRES ACEH UTARA/POLDA ACEH, Tanggal 17 Januari 2023, pemohon belum pernah diperiksa dan tidak pernah mendapatkan surat perintah penyelidikan dan surat perintah penyidikan kepada Pemohon. Bahkan jarak laporan dengan surat perintah penangkapan hanya berselang 3 hari tentu patut diduga terjadi kriminalisasi terhadap Pemohon, Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
  4. Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
  5. Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
  6. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.
  7. Tidak Adanya Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK) dan Tidak Adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
  8. Bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (selanjutnya disebut SPDP) merupakan surat pemberitahuan kepada Kepala Kejaksaan tentang dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 16 Peraturan Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (selanjutnya disebut Perkap 6/2019). Sedangkan Surat Perintah Penyidikan (selanjutnya disebut Sprindik) juga merupakan salah satu aturan administratif dalam hal akan dilakukan sebuah penyidikan sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) Perkap 6/2019. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) menyatakan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi serta guna menemukan tersangkanya.”
  9. Bahwa pasal 13 ayat (1) Perkap 6/2019 menyebutkan bahwa penyidikan dilakukan berdasarkan atas Laporan Polisi dan Sprindik. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 Peraturan Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (selanjutnya disebut Perkap 6/2019), dalam penerbitan Sprindik sekurang-kurang harus memuat :
    1. dasar penyidikan; 
    2. identitas tim penyidik;
    3. perkara yang dilakukan penyidikan;
    4. waktu dimulainya penyidikan; dan
    5. identitas Penyidik selaku pejabat pemberi perintah.
  10. Bahwa setelah diterbitkan Sprindik selanjutnya yaitu dibuat SPDP sebagaimana ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2) Perkap 6/2019. SPDP tersebut dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Sprindik sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Perkap 6/2019. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (2) Perkap 6/2019  SPDP sekurang-kurangnya memuat :
    1. dasar penyidikan berupa laporan polisi dan Surat Perintah Penyidikan; 
    2. waktu dimulainya penyidikan;
    3. jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang disidik;
    4. identitas tersangka; dan
    5. identitas pejabat yang menandatangani SPDP.
  11. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1) Perkap 6/2019 menyatakan bahwa seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti. Alat bukti yang dimaksud yaitu alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
  12. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 menyatakan arti penting SPDP dalam 3 (tiga) hal utama yaitu kesesuaian dengan asas hukum acara pidana nasional terlebih asas kepastian hukum dan peradilan cepat dan terbuka, jalannya sistem peradilan terpadu (Integrated criminal justice system) dan Pemenuhan hak asasi manusia yang sejak semula menjadi komitmen utama pembentuk KUHAP. Mahkamah dalam pertimbangan putusannya telah berhasil mengelaborasikan kepentingan hukum dengan metode penafsiran yang tepat sehingga menghasilkan terobosan hukum dalam menemukan kebenaran substantif dari Pasal 109 ayat (1) KUHAP. SPDP tidak lagi menjadi monopoli antara Penyidik dan Penuntut Umum tetapi berubah kedudukannya sebagai bukti sekaligus tanda komitmen penegakan hukum yang terbuka dan memenuhi kepastian hukum bagi pelapor/korban dan tersangka/terlapor. Dengan demikian, SPDP  menjadi bagian penting yang wajib ada dalam proses peradilan pidana untuk dimintakan kepada penyidik oleh ketiga pihak ini ketika suatu proses perkara pidana berjalan dalam tahap penyidikan.
  13. Bahwa Bagi Pemohon, SPDP memenuhi hak asasi manusia setidaknya dalam hal jaminan kepastian hukum, informasi yang jelas tentang proses hukum pidana dan ketentuan hukum yang berlaku. Pelapor/korban mendapatkan kepastian informasi terkait dengan perkara pidana yang diajukannya sehingga ia dapat berkontribusi dalam proses penegakan hukum. Arti Penting Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan: Mahkamah berpendapat bahwa pelapor dapat menjadikan SPDP sebagai momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan.14 Mahkamah dalam pertimbangannya telah menampung kepentingan korban yang selama ini dikesampingkan oleh KUHAP karena dianggap telah diwakili oleh Penuntut Umum. Keberadaan korban/pelapor sebenarnya begitu penting dalam menunjang proses hukum atas perkara pidana yang sedang diproses mengingat dirinyalah yang mengalami (saksi korban). Kesaksian korban/kesaksian pelapor menjadi sumber informasi untuk pengembangan penyidikan terutama untuk mencari alat bukti yang sah sebagaimana diprasyaratkan dalam Pasal 184 KUHAP.
  14. Bahwa dengan diterbitkannya SPDP, korban/pelapor dapat mempersiapkan diri baik secara mental, waktu, maupun tenaga untuk mengikuti proses hukum terkait dengan dirinya. Selain itu, SPDP juga bermanfaat dalam hal pemenuhan hak asasi manusia yang dimiliki oleh korban dalam kepastian hukum terkait hak atas kejelasan informasi yang jelas dan ketentuan hukum yang berlaku. Hak asasi manusia tersebut begitu penting mengingat korban sebagai pihak yang dirugikan berada pada posisi paling depan sebagai pencari keadilan dari perbuatan pidana yang ditujukan pada dirinya. Pemenuhan atas hak asasi manusia ini pada dasarnya menjadi tujuan utama dari KUHAP. Dengan demikian dengan tidak adanya SPDP, SPRINDIK merugikan Pemohon karena tidak adanya kepastian hukum bagi Pemohon dan itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
  15. Bahwa berdasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Penetapan tersangka harus dilaksanakan melalui gelar perkara kecuali terhadap tersangka tertangkap tangan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 25 ayat (2) Perkap 6/2019. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa diterbitkannya SPDP dan Sprindik belum tentu sudah memuat penetapan tersangka, karena diterbitkannya SPDP dan Sprindik merupakan dasar atau awal bagi penyidik mencari bukti untuk menetapkan tersangka. Apabila penyidik tidak menemukan minimal 2 (dua) alat bukti yang didukung dengan barang bukti sebagaimana ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1) Perkap 6/2019. Dengan Demikian penyidik tidak dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka dan/atau menerbitkan Surat Penetapan Tersangka apalagi melakukan penangkapan dan penahanan terhadap diri Pemohon
  16. Pemohon Tidak Pernah Ditetapkan Sebagai Tersangka
  17. Bahwa sesuai dengan fakta-fakta hukum yang dijabarkan secara rinci dalam poin I pada halaman, jelas bahwa Pemohon tidak pernah dipanggil dan atau diundang secara patut dan sesuai dengan Kitab Hukum Acara Pidana serta ketentuan perundang-undangan yang lain.
  18. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
  19. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
  20. Frasa ‘bukti permulaan’, “bukti permulaan yang cukup”, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
  21. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
  22. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka dan upaya perintah penangkapan berdasarkan surat perintah penangkapan terhadap Pemohon oleh Termohon dengan Nomor SP.Kap/02/1/2023/Reskrim tertanggal 20 Januari 2023, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada saat dilakukan penangkapan.
  23. Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kepolisian Resort Aceh Utara Sektor Baktiya.
  24. Uraian dan Kesimpulan Hukum
  25. Bahwa Berdasarkan Pasal 1 angka 20 KUHAP Bahwa “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
    •  
  26. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, frasa “permulaan bukti yang cukup” harus ditafsirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya. Maka upaya penangkapan terhadap Pemohon oleh Termohon tidak sah;
  • Bahwa pemohon belum pernah sama sekali dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu sebagai saksi atau calon tersangka namun langsung dilakukan penangkapan.
  • Bahwa harusnya Polsek Sektor Baktiya mempertegas posisi perkara berada dalam tahapan penyelidikan atau penyidikan.
  • Bahwa dalam surat tersebut dasar pertimbangan tersangka mangkir atas panggilan polisi 2 kali menjadi dasar penangkapan sangat prematur, dan tidak sesuai dengan pasal 1 angka 20 KUHAP bahwa Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
  • Bahwa dalam surat tersebut dasar penangkapan hanya berdasarkan laporan Polisi tanpa melampirkan Surat Perintah Penyidikan sehingga kasus ini sah dan penangkapan tersangka memenuhi Pasal 1 angka 20 KUHAP.
  • Bahwa Tanggal pelaporan dilakukan pada 17 Januari 2022 hanya berselang 5 hari kemudian sudah dikeluarkan Surat Perintah Penangkapan, maka sangat patut dipertanyakan terkait keabsahan dan SOP penanganan perkara sudah sesuai dengan perundang-Undangan yang berlaku.
  • Bahwa dalam surat juga terdapat perintah penyitaan barang bukti terhadap tersangka harusnya dipisahkan, harus ada surat tersendiri terkait perintah penyitaan barang bukti yang resmi dan sesuai dengan SOP penyitaan.
  • Kemudian dalam kronologis yang ada tersangka ditembak oleh polisi tentu ini patut di selidiki lebih jauh apakah penembakan tersebut sesuai dengan SOP Polri terkait Penggunaan Senjata Api.
  1. Bahwa uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penyebutan tersangka yang hanya terdapat dalam Surat Perintah Penahanan Nomor: Sp. Han/02/I/2023/Reskrim tidak dapat menjadi dasar yang sah karena tidak disertai dengan surat penetapan tersangka yang sah dan bersesuaian dengan KUHAPidana. Dengan demikian tanpa surat perintah penyidikan, tanpa surat penetapan tersangka maka Penangkapan atau penahanan terhadap pemohon tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
  2. Dengan demikian jelas tindakan Termohon melakukan penangkapan atau penahanan terhadap diri pemohon merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
  3. PENYITAAN TERHADAP PEMOHON TIDAK SAH  
  4. Bahwa penyitaan yang dilakukan oleh termohon terhadap benda milik pemohon yang dilakukan oleh penyidik karena benda tersebut dipergunakan untuk melakukan tindak pidana dan mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 dan 40 KUHAP.
  5. Pasal 38 ayat (2) KUHAP menyebutkan dalam keadaan yang sangat perlu dan bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
  6. Bahwa proses awal penyitaan hanya bisa dilakukan oleh penyidik dengan berdasarkan pada surat izin Ketua Pengadilan Negeri, hal tersebut diatur dalam Pasal 38 Ayat (1) KUHAP. Dalam Ayat (2) menyebutkan dalam keadaan yang sangat perlu dan bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan Ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
  7. M. Yahya Harahap selanjutnya berpendapat bahwa yang dimaksud penyitaan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah “Upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik untuk mengambil atau ‘merampas’ sesuatu barang bukti tertentu dari seseorang tersangka, pemegang atau penyimpan.”51 Namun perampasan yang dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan dan bukan perampasan liar dengan cara-cara yang melawan hukum. Setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan di bawah kekuasaannya.
  8. Bahwa Termohon tidak pernah Membuat Berita Acara Penyitaan. Penyidik membuat Berita Acara Penyitaan yang dibacakan oleh penyidik di hadapan atau kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan ketiga orang saksi. Jika mereka telah dapat menerima dan menyetujui isi berita acara, barulah penyidik memberi tanggal pada berita acara.
  9. Bahwa sebagai tindakan akhir dari pembuatan berita acara, penyidik, orang yang bersangkutan atau keluarganya dan para saksi masing-masing membubuhkan tanda tangan pada Berita Acara Penyitaan. Apabila orang yang bersangkutan atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangan, penyidik membuat catatan tentang hal itu serta mencatat alasan-alasan penolakan membubuhkan tanda tangan (Pasal 129 Ayat (3) KUHAP). Namun demikian sampai dengan saat permohonan praperadilan ini dibuat Pemohon dan Keluarga Pemohon tidak pernah menerima dan menandatangani BA Penyitaan.
  10. Bahwa berdasarkan uraian diatas maka terhadap 1unit mobil Toyota Calya berwarna merah Nomor Polisi BM 114 EM milik Pemohon yang telah disita oleh Termohon jelas bertentang dengan KUHAPidana dan peraturan hukum lainnya. Dengan demikian Penyitaan yang dilakukan oleh Termohon tidak sah dan cacat hukum

III. PETITUM

Berdasar pada argumentasi dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut:

  1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Pra-peradilan untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan Termohon melakukan Penangkapan atau Penahanan Pemohon dan Penyitaan terhadap 1unit mobil Toyota Calya berwarna merah No Polisi: BM 114 EM milik Pemohon oleh Termohon dalam Hal ini Kepolisian Sektor Baktiya adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan Penangkapan atau Penahanan Pemohon dan Penyitaan terhadap 1unit mobil Toyota Calya berwarna merah No Polisi: BM 114 EM milik Pemohon oleh Termohon;
  4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
  5. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Banda Aceh, 23 Januari 2023

Hormat kami,

Kuasa Hukum/Penasehat Hukum

  1. YULFAN, S.H.
  2. HERIGUSMADI, S.H.
  3. REZA HENDRA PUTRA, S.H.
Pihak Dipublikasikan Ya